Tuesday 2 February 2010

…Dan Mereka pun Mulai Menaruh Jarum diatas Pemutar.

Vinyl itu adalah fanatisisme. Disaat banyak perusahaan rekaman mengeluh akan menurunnya angka penjualan album, vinyl datang bak penyelamat meski sebelumnya orang menganggap vinyl akan tergerus oleh CD.
Ya, saat CD mulai menjadi wahana baru dalam menikmati musik, orang berpikiran bahwa piringan hitam sudah tidak relevan. Tapi kenyataan berkata lain, meski kebanyakan vinyl dijual dalam jumlah terbatas (limited edition) angka penjualan per tahun menunjukkan angka yang fantastis.
Robert Benson dalam bukunya The Fascinating Hobby of Vinyl Record Collecting menulis angka penjualan vinyl pada tahun 2002 mencapai nilai $20.500.000 kemudian merangkak naik menjadi $50.700.000 pada tahun 2009. Nilai itu didapat lewat statistik penjualan album yang dicatat oleh Recording Industry Association of America (RIAA) dan belum mencakup penjualan album-album indie (yang tentu saja mencetak rekor fantastis dalam 10 tahun terakhir bila melihat gejala-gejala kebangkitan vinyl di seluruh dunia termasuk Indonesia).
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa orang-orang kembali mengeluarkan turntable mereka dari gudang dan mulai berburu vinyl lagi? Banyak faktor yang sebenarnya berkorelasi dan saling mempengaruhi. Pada awalnya orang memang mengoleksi CD sebagai bentuk paling jamak sejak dekade 80an. Semenjak teknologi komputer memungkinkan orang untuk me-rip atau mengubah format Audio CD menjadi Mp3, sebetulnya koleksi CD mereka pun hanya untuk disimpan di rak, sebagai koleksi, pajangan, atau berinvestasi.
CD ternyata tidak bertahan lama meski hanya disimpan. Banyak yang mengungkapkan bahwa bertahan selama 5 tahun saja sudah cukup bagus untuk CD meski ini sebenarnya sangat relatif tergantung dari perawatan. Tapi fakta dari pengalaman pribadi saya sudah membuktikan kelemahan CD ini dari segi ketahanan. CD yang dimainkan berulang kali, memperbesar kemungkinan kerusakan yang akan terjadi. Contoh konkretnya adalah CD saya yang lapisan atasnya (coating) mengelupas akibat dimainkan puluhan kali.
Vinyl adalah fanatisisme, seperti kalimat diawal tulisan. Meski bukan berarti tidak bisa rusak, vinyl memiliki lebih banyak keuntungan dibanding CD. Pada dasarnya, memainkan vinyl berarti melakukan proses abrasi, menggerus permukaan dengan jarum sementara CD menggunakan laser optik guna membaca data. Logikanya, seharusnya vinyl lebih mudah rusak karena proses abrasif tadi. Namun sebaliknya, butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar ”merusak” vinyl, dengan catatan perawatan terhadap vinyl juga harus dilakukan.
Vinyl adalah sebuah bentuk yang paling mendekati sempurna ketika musik itu direkam di studio oleh sang artis. Sebuah vinyl dalam kondisi prima dikatakan jauh melebihi kualitas CD. Jargon inilah yang sedikit banyak mempengaruhi kenapa orang-orang lebih memilih vinyl saat ini. Faktor artwork juga memiliki kans tersendiri. Ada beberapa orang yang memang terpukau dengan artwork yang lebih besar dibanding CD karena otomatis kepuasan yang didapat pun semakin besar.
Saya bukanlah orang yang peka terhadap perihal soundsystem apalagi seorang audiophile, sehingga perdebatan kualitas antara CD dan vinyl tidak begitu saya pahami. Ini sebenarnya masalah kesubjektifan saja, ada beberapa orang yang sudah puas dengan mono sound, namun ada pula yang detil menangkap tiap inchi soundscape yang keluar dari speaker. Hampir semua penggemar musik menganggap vinyl memiliki superioritas dalam hal sound. Ketika album-album milik The Beatles dirilis dalam format CD, para penggemar ternyata malah mengeluhkan kualitas sound dari CD ini, entah itu terletak pada proses mastering, yang jelas semua penggemar lebih memilih format piringan hitam yang saat itu masih berupa mono. Bahkan George Harrison pun berkata,”Kamu belum mendengarkan Sgt. Pepper kalau belum mendengarkannya dalam format mono”.
Piringan hitam memang sempat menguasai pasar musik di Indonesia, namun entah kenapa tradisi ini mati tak berbekas ditandai dengan berhentinya produksi dan bangkrutnya pabrik-pabrik pemrosesan vinyl. Koleksi-koleksi jaman dulu disimpan digudang dan dibiarkan berjamur, sementara yang mengerti investasi akan memajangnya di situs-situs berjualan online dengan harga selangit (tercatat album Guruh Gypsy mencapai angka Rp.1juta).
Dari fakta diatas, tradisi vinyl sebenarnya tidak pernah beranjak kemana-mana. Memang sempat tertidur sesaat, tapi vinyl tidak pernah mati. Saat ini banyak anak-anak muda mulai mengoleksi vinyl meski harus berbelanja online atau ke luar negeri, tapi banyak yang sudah menyisihkan budget tersendiri untuk berbelanja vinyl tiap bulannya. Harga vinyl memang jauh diatas CD apalagi bila kita mendapati tag-tag seperti ”Limited Edition”, ”Double LP”, ”Boxset”, ’Audiophile LP”, dll. Namun itu setara dengan kepuasan yang didapat disamping menjaga keeksklusifan. Vinyl menurut saya adalah bentuk apresiasi paling tinggi dalam menikmati musik selain untuk mendukung si artis.
Harapan saya adalah, semoga bajakan vinyl tidak semengerikan CD bajakan seperti saat ini. Jangan sampai, ketika trend vinyl sudah diatas, para pembajak itu giliran ”memperkosa” vinyl. Kalau hal itu sampai terjadi, lalu harus dalam bentuk apalagi kita bisa menikmati musik secara total dengan kepuasan penuh?

No comments:

Post a Comment